Makassar – Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Sulawesi Selatan, Rudy Fernando Sianturi, A.Md.IP., S.H., M.H., memaparkan pentingnya transformasi pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana kontemporer. Hal ini disampaikan dalam kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin pada 11 Maret 2025, sebagai bagian dari rangkaian Dies Natalis ke-73 Unhas.
Dalam paparannya, Rudy Fernando Sianturi menjelaskan bahwa transformasi pemasyarakatan merupakan perubahan yang terus terjadi seiring perkembangan zaman. Ia mengutip pemikiran filsuf seperti Aristoteles, Immanuel Kant, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre untuk menjelaskan konsep transformasi. Aristoteles membagi transformasi menjadi perubahan kuantitatif dan kualitatif, sementara Kant menekankan transformasi empiris dan transendental. Nietzsche mengkategorikan transformasi menjadi “Übermensch” dan “Untermensch”, sedangkan Sartre melihat transformasi sebagai proses eksistensi dan esensi manusia.
Rudy juga menegaskan bahwa pemasyarakatan di Indonesia telah mengalami transformasi signifikan sejak Konferensi Kepenjaraan di Lembang, Bandung, pada 27 April 1964. Konferensi ini merupakan tindak lanjut dari pidato Sahardjo yang menekankan bahwa tujuan hukum pidana adalah mengayomi masyarakat, termasuk mereka yang tersesat, dengan memberikan bekal hidup, bimbingan, dan pendidikan agar dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Transformasi ini terus berlanjut hingga lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022. Undang-Undang terbaru ini menegaskan delapan asas pemasyarakatan, yaitu pengayoman, nondiskriminasi, kemanusiaan, gotong royong, kemandirian, proporsionalitas, kehilangan kemerdekaan sebagai satu-satunya penderitaan, dan profesionalitas. Selain itu, undang-undang ini juga menetapkan enam fungsi pemasyarakatan, yaitu pelayanan, pembinaan, pembimbingan kemasyarakatan, perawatan, pengamanan, dan pengamatan.
Untuk mendukung implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Direktorat Jenderal Pemasyarakatan telah menyiapkan Griya Abhipraya. Griya Abhipraya merupakan wadah untuk memberdayakan tersangka, tahanan, anak, dan warga binaan melalui kegiatan di bidang kepribadian, kemandirian, hukum, dan kemasyarakatan. Di Sulawesi Selatan, Griya Abhipraya Bapas Makassar, yang diberi nama GA.Sombere, telah menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah, pengusaha, lembaga sosial, perbankan, dan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan.
GA.Sombere menetapkan empat variabel utama untuk memastikan keberhasilan program, yaitu:
- Ipkemindo (Ikatan Pembimbing Kemasyarakatan Indonesia): Sebagai induk organisasi profesi pembimbing kemasyarakatan yang melakukan penelitian terhadap klien pemasyarakatan.
- Koperasi: Memainkan peran dalam mobilisasi potensi mikroekonomi di wilayah Bapas Makassar.
- Pokmas Lipas (Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan): Melibatkan masyarakat dalam proses pemasyarakatan.
- Pemerintah Daerah: Sebagai pendukung utama dalam pelaksanaan program Griya Abhipraya.
Rudy Fernando Sianturi menutup paparannya dengan optimisme bahwa transformasi pemasyarakatan akan mampu menjawab tantangan zaman dan memainkan peran sentral dalam kesuksesan implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. “Pemasyarakatan bukan hanya tentang menghukum, tetapi tentang membimbing dan memberdayakan individu agar dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab,” ujarnya.