SSindonesia Makassar – Kasus dugaan penipuan yang melibatkan Aty Kodong, Runner Up D’Academy Asia dan finalis D’Academy, terhadap temannya sendiri, Riska, telah menjadi viral di media sosial. Menanggapi hal ini, praktisi hukum yang berdomisili di Jakarta, Aldrien Steven P, S.H., memberikan komentarnya mengenai dampak penyebaran berita bohong atau hoax.
Menurut Aldrien Steven P, S.H., penyebaran berita bohong dapat menimbulkan ketidakpastian dan kebingungan di masyarakat, terutama jika informasi tersebut disebarkan tanpa verifikasi. “Akibat dari penyebaran berita bohong sangat besar karena informasi yang sengaja disebarkan tanpa verifikasi bisa menjadi sumber ketidakpastian dan kebingungan, apalagi jika motifnya adalah untuk menyerang karakter atau harga diri seseorang,” tegasnya.
Aldrien juga berpesan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi, terutama jika sumbernya tidak jelas. Ia mengingatkan bahwa ada ancaman hukum yang serius terkait penyebaran berita bohong, sesuai dengan Pasal 28 jo. Pasal 45A UU 1/2024 yang merupakan perubahan kedua UU ITE.
Berikut adalah beberapa ketentuan dalam UU ITE yang disampaikan oleh Aldrien:
- Pasal 28 ayat (1): Setiap orang yang dengan sengaja mendistribusikan informasi elektronik yang berisi pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiel bagi konsumen dalam transaksi elektronik dapat dipidana dengan penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
- Pasal 28 ayat (2): Setiap orang yang dengan sengaja mendistribusikan informasi elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental atau fisik dapat dipidana dengan penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
- Pasal 28 ayat (3): Setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik yang memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat dapat dipidana dengan penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Aldrien juga mengingatkan bahwa penyebaran berita bohong bisa dijerat pidana berdasarkan UU ITE tergantung dari muatan konten yang disebarkan. Misalnya, jika berita bohong bermuatan kesusilaan, dapat dijerat pidana berdasarkan Pasal 27 ayat (1); jika bermuatan perjudian, dapat dipidana berdasarkan Pasal 27 ayat (2); dan jika bermuatan tuduhan yang menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dapat dipidana berdasarkan Pasal 27A.
Selain itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 390 menyatakan bahwa barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyiarkan kabar bohong yang menyebabkan harga barang dagangan, dana, atau surat berharga menjadi turun atau naik, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.
Aldrien menambahkan bahwa UU No.1/2023 yang akan berlaku pada tahun 2026 akan memperberat sanksi bagi pelaku penyebaran berita bohong melalui media elektronik atau sosial media. “Tentu akan lebih berat lagi apabila UU No.1/2023 sudah berlaku tahun 2026. Rumusan pasal-pasal untuk pelaku yang menyebarkan berita bohong melalui media elektronik juga dapat dipidana menurut UU 1/2024,” jelasnya.
Aldrien menutup pendapatnya dengan menyarankan agar masyarakat selalu memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya untuk menghindari masalah hukum dan menjaga ketertiban di masyarakat.